Saturday, January 31, 2009

Buah Roh: Kesetiaan

“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan,

kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri” (Gal. 5:22-23a)


Sebuah Kesetiaan

Ibarat matahari yang memiliki beberapa elemen, seperti panas, cahaya, sinar, dan power, demikian pula dengan konteks buah Roh di atas. Bentuk kata yang dipakai adalah tunggal (buah Roh), dan bukan jamak (buah-buah Roh). Namun demikian, bentuk tunggal ini memiliki 9 elemen yang esensial. Menurut King James Version Bible Commentary kesembilan elemen ini dibagi menjadi 3 bagian:

1. Pertama: kasih, sukacita, damai sejahtera (Yun. Agape, Chara, Eirene), adalah relasi kepada Allah.

2. Ketiga: kesabaran, kemurahan, kebaikan (Yun. Makrothymia, Chrestotes, Agathosyne), adalah relasi kepada sesama.

3. Ketiga: kesetiaan, kelemah-lembutan, peguasaan diri (Yun. Pistis, Prautes, Enkrateia), adalah relasi yang berkaitan dengan inner life (kehidupan di dalam diri seseorang itu sendiri).

Mengapa Paulus memakai istilah “buah” dan bukan istilah lain seperti “sifat”, “karakter”, atau “kepribadian”. Secara sederhana ia ingin melukiskan gambaran yang sederhana. Sama seperti buah yang dihasilkan secara alamiah oleh sebuah pohon, demikian juga seharusnya hidup orang percaya menghasilkan buah pertobatannya dari Pohon Kehidupan itu. Satu dari buah roh yang menjadi perhatian hari ini adalah pistis, kesetiaan. Sebuah harian Metropolis menceritakan sebuah contoh pistis yang nyata:

“Krisis di Makati telah usai”, demikian pidato Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo yang disiarkan langsung dari istana Malacanang melalui stasiun televisi ke segenap penjuru negeri itu pada 27 Juli 2003. Ada apa di Makati? Ternyata, di distrik bisnis itu, hampir 300 perwira muda di tubuh militer Filipina sejak hari sebelumnya unjuk gigi melawan pemerintah dengan menguasai apartemen dan pusat perbelanjaan di sana. Mereka melakukan itu karena kecewa atas sikap dan tindakan pemerintah kepada mereka. Hal ini juga merupakan wujud tindakkan pembangkangan dan ketidaksetiaan mereka kepada pimpinan tertinggi militer mereka. Drama pasukan militer yang hampir mengkudeta pemerintahan Presiden Arroyo itu akhirnya gagal tanpa adanya pertumpahan darah. Padahal, seluruh pasukan yang loyal (setia) kepada pemerintah sudah bersiap-siap untuk menghadapi kelompok pembangkang ini. Akhirnya, para prajurit tersebut kembali ke pangkuan pemerintah dan menyatakan kembali ikrar kesetiaan mereka pada pemerintah, negara dan bangsa.

Wujud dan tindakkan pembangkangan para prajurit di atas merupakan gambaran betapa mudah rapuhnya sebuah kesetiaan. Meski telah dilatih, dibentuk, dan menerima disiplin yang tinggi dalam kemiliteran dan menyatakan sumpah setia, tidak selalu menghasilkan sikap loyal yang tinggi kepada para pemimpinnya. Dalam Kitab Ulangan 13-14 dikisahkan hal yang serupa. Saat itu Musa mengutus 12 orang terpilih untuk mengintai dan mengamat-amati negeri yang akan mereka masuki. Ketika 12 orang pengintai itu kembali, mereka menceritakan semua apa yang mereka saksikan di sana, kemudian menceritakannya. Sebagian dari mereka menceritakan kabar busuk dan menciutkan hati seluruh bangsa itu sehingga mereka memberontak, berteriak, minta kembali ke Mesir, dan menolak kepemimpinan Musa. Seolah-olah mereka tidak mempercayai Musa yang dengan setia telah mendampingi dan memimpin mereka. Bahkan, dalam banyak hal, bangsa ini kerap kali memberontak kepada Allah. Bangsa ini adalah bangsa yang rapuh, rapuh akan kesetiaan. Tidak terhitung jumlahnya bagimana bangsa ini meninggalkan Allah dan menyembah allah-allah asing. Allah yang setia telah dihianati dengan ketidaksetiaan.

Kesetiaan yang bagaimana yang bisa kita implikasikan dalam kehidupan riil kita?

1. Faithfulness in Faith of Jesus Christ (Kesetiaan dalam iman kepada Yesus Kristus).

Banyak dari kita mungkin pernah mendengar dan melihat orang-orang yang mulanya aktif dan setia melayani di gereja, tiba-tiba saja, setelah mereka tidak menjabat atau menemukan pasangan hidup yang tidak seiman, lari meninggalkan gereja dan pergi entah ke mana. Ada pula di antara mereka yang karena kecewa dengan gereja, sesama rekan kerja, atau mendapatkan tekanan hidup yang berat dan merasa Tuhan tidak menjawabnya, lalu lari meninggalkan Tuhan. Ini mirip dengan kehidupan jemaat di Efesus. Dibandingkan dengan jemaat di Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia, Laodikia, di Efesus berkumpul banyak orang tekun, sabar, pekerja keras, dan giat melayani. Tetapi ironisnya, jemaat inilah yang paling memprihatinkan. “Namun demikian Aku mencela engkau, karena engkau telah meninggalkan kasihmu yang semula. Sebab itu ingatlah betapa dalamnya engkau telah jatuh! Bertobatlah dan lakukanlah lagi apa yang semula engkau lakukan” (Why. 2:4-5). Seorang rekan dari Malaysia, yang sempat menjadi room mate (rekan kamar) saya di seminari, menceritakan akan pengalaman imannya pada saya. Ketika studi di seminari itu ia tidak mempunyai sponsor untuk mendukung biaya studinya. Lalu ia menulis banyak surat dan mengirimkannya kepada orang-orang yang bisa mendukungnya. “Bagaimana seandainya semua surat yang kamu kirimkan tidak ada satu pun yang membalasnya?”, tanya saya kepadanya. “Kalau tidak ada yang membalas satupun”, katanya mantap, “saya akan tetap yakin bahwa Tuhan pasti menolong saya”. Kita mungkin bisa bertahan kalau masih diperhadapkan dengan contoh seperti itu. Bagaimana bila ujian iman kita sudah mencakup masalah ancaman, penganiayaan secara fisik, penjara, atau kematian. Di salah satu kota di Sumatera, ada seorang hamba Tuhan dan juga sebagai kepala sekolah harus menjalani hukuman fisik dan penjara oleh karena fitnah, hasutan, dan tuduhan-tuduhan dusta sekelompok orang yang membencinya. Ia dianggap telah mengkristenisasi salah satu warga di sana. Pada 1999 lalu ia dimasukan ke dalam penjara dan baru bulan Juni 2003 lalu ia dibebaskan. Syukur pada Tuhan, saat ini ia tetap setia kepada-Nya dan melayani Dia. Suatu kali, di sebuah pemukiman di Albania terjadi penyerbuan oleh tentara pemberontak kepada warga setempat. Warga yang saat itu sedang beribadah di dalam gereja ditawan dan disiksa. Seluruh ruangan gereja dirusak dan diporak-porandakan. Ketika melihat gambar Yesus yang tergantung di atas dinding, warga gereja diminta menurunkan dan meludahi gambar itu. Bila menolak, mereka akan ditembak mati. Dengan takut dan gentar, satu persatu mereka maju dan meludahi gambar itu. Tiba-tiba seorang anak kecil berlari, merebut dan memeluk gambar itu. Ia berkata kepada tentara komunis itu, “Jangan kalian sakiti dan hina Juruselamatku. Dia adalah Pemimpinku yang tidak pernah mengecewakanku, dan aku tidak akan menghianatinya”. Seketika komandan pasukan itu menarik anak kecil itu dan mengumpulkan mereka semua di halaman depan gereja. Lalu ia menembaki semua orang-orang yang telah meludahi gambar itu, tetapi membiarkan anak kecil itu hidup dalam imannya. “Mereka semua pantas mati karena telah menghianati pemimpin mereka”, kata komandan tersebut.


2. Faithfulness with Partner and Family (Kesetiaan dengan Pasangan dan Keluarga)

“Saya, James, dengan ini menerima Phobe, sebagai istri saya. Baik dalam keadaan senang-susah, sehat-sakit, miskin-kaya, akan selalu setia kepadanya, sampai maut memisahkan kita”. Demikian isi janji yang umum diucapkan dalam sebuah prosesi pernikahan. Sampai berapa lama janji setia ini bisa dipertahankan? Saya tidak tahu. Yang jelas, ujian mempertahankan janji ini semakin lama semakin mudah dilupakan. Hampir setiap saat kita menyaksikan berita runtuhnya janji setia ini dalam wujud perceraian. Di Amerika Serikat, yang notabene penduduknya Kristen, ternyata memegang rekor nagka perceraian paling tinggi. Gary Smalley, dalam bukunya Seandainya Ia Tahu (1991:79) mengatakan bahwa di AS dari setiap dua pernikah ada satu perceraian. Ini dapat dilihat dari data yang ditulis Norman Wright dalam bukunya The Premarital Counseling:

Di California, angka perceraian bervariasi secara radikal di satu kota ke kota lain. Di Los Angelos pada tahun 1989 terdapat 41.326 pernikahan resmi dan 32.011 pernikahan terselubung, yang berarti total 73.392 pernikahan. Pada tahun itu juga terdapat 42.088 perceraian. Dan di Orange County terdapat 3.888 pernikahan resmi dan 6.079 pernikahan terselubung, dengan total 9.679. Pada tahun yang sama pula angka perceraian di kota itu terdapat 16.123 (Norman Wright, 1992:8-9)

Penulis Amsal mengatakan, “Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya?” (20:6). Memang sulit menemukan orang yang setia. Dalam rumah tangga pun demikian. Ada banyak pasangan yang nampaknya penuh perhatian, ramah dan baik, namun tidak bisa memegang kesetiaan. Harusnya semua sikap demikian plus kesetiaan harus selalu melekat dan menjadi pondasi yang kuat. Di pesisir pantai Miami, Amerika Serikat ada kisah yang menarik. Siang itu ada sepasang kekasih yang pergi ke pantai mengendarai sebuah mobil sport. Sebelum ke pantai mereka sempat mampir ke warung burger untuk membeli makanan. Berhubung toko sangat ramai waktu itu, pemilik toko melayani mereka dengan tergesa-gesa sekali. Lalu sepasang kekasih itu membawa makanan mereka. Betapa kagetnya ketika mereka membuka isi pembungkus burger tersebut. Ternyata, isinya bukan burger, melainkan setumpuk uang. Segera mereka kembali ke warung burger tersebut dan mengembalikan uang tersebut. Pemilik toko sangat berterima kasih dan kagum bahwa mereka adalah orang-orang yang baik dan jujur. Kemudian ia meminta mereka untuk tinggal sebentar dan akan mengundang crew televisi untuk meliput dan mewawancari sepasang kekasih yang jujur ini. Ternyata mereka menolaknya dan meminta dengan sangat untuk tidak mengeksposnya. Mengapa? Karena pasangan wanita yang diajak oleh pria itu bukanlah istrinya, melainkan simpanannya. Ternyata, dibalik kebaikannya tersimpan ketidaksetiaan pada pasangannya. Harusnya semua sikap penuh perhatian, ramah, baik plus kesetiaan harus selalu melekat dan menjadi pondasi yang kuat. Ingatlah selalu bahwa Allah kita adalah Allah yang cemburu, dan menuntut kesetiaan dari umat-Nya.


3. Faithfulness in Job and Ministry (Kesetiaan dalam Pelayanan dan Pekerjaan)

Thomas Alpa Edison dalam percobaan karyanya menciptakan lampu pijar telah mengalami kegagalan 6000 kali. Ketika banyak orang menyarankan agar menghentikan pekerjaannya itu, ia malah terus menekuninya. Sampai akhirnya ia berhasil menemukan lampu pijar tersebut dan hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat dunia. Dr. Dale Galloway dalam bukunya On-Purpose Leadership menceritakan pelayanannya ketika merintis New Hope Community Church, di Portland, Oregon. Pada 1972 ia bersama istrinya, Margi, memulai pelayanan dengan mengambil tempat di sebuah kedai makanan ringan di teater mobil. Meski kecil jemaatnya dan sulit mendapatkan dana untuk mengembangkan pelayanannya, ia tetap setia mengerjakannya. Tuhan terus memimpin dan memberkatinya. Saat ini gereja tersebut menjadi salah satu gereja terbesar di Amerika dengan jumlah jemaat 6.400 orang, dan 500 pendeta biasa yang melayani lebih dari 5.000 anggota kelompok kecil. Demikian juga dengan Dr. Paul Yonggi Cho di Korea Selatan. Jumlah jemaatnya saat ini telah mencapai 900.000 lebih dan menjadikan gerejanya sebagai gereja terbesar di dunia. Padahal, ketika ia merintis Yuido Full Gospel Church hanya dimulai dengan 6 orang. Karena ketekunan dan kesetiaannya, dan lepas dari teologi pengajarannya, Tuhan memberkati pelayanannya. Jelas, Tuhan akan memperhitungkan segala pekerjaan dan pelayanan kita. “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Luk. 16:10). Ini adalah prinsip yang perlu diingat: setiap pemimpin besar di dunia ini dimulai karena setia mengerjakan hal-hal yang kecil. Tuhan akan melihat apa yang kita kerjakan dan Dia akan memberikan berdasarkan kesetiaan kita. Dan kesetiaan kita melakukan perkara-perkara yang kecil akan mendatangkan dampak yang besar, dan akan menyatakan kemuliaan tuhan bagi sekeliling kita. Terakhir, saya akan menutup dengan kisah nyata orang yang dengan setia dan tekun baik dalam pekerjaan dan pelayanannya. Di Albania ada seorang gadis yang bernama Agnes Gonza Bojuxhiu, putri seorang kontraktor yang kaya raya. Di usianya yang relatif muda, 17 tahun, ia telah membuat keputusan masuk menjadi anggota Sisters of Loreto, sebuah badan misi yang kemudian mengutusnya untuk melayani di Kalkuta, India. Ketika ia berada di Kalkuta, ia menyaksikan situasi sosial yang sangat memprihatinkan. Pada tahun 1946 di India terjadi kerusuhan berdarah antara kelompok Muslim dan Hindu, dan membuat situasi di India semakin kacau. Hampir setiap hari dan di setiap peloksok selalu dijumpai orang-orang miskin. Melihat semuanya ini Agnes Gonza Bojuxhiu terpanggil untuk menolong dan melayani mereka semua. Itulahawal dari misi kemanusiaanya. Ia bukan hanya menolong mereka secara fisik tetapi juga membawa kasih Kristus kepada mereka. Dalam perjuangannya menolong orang-orang miskin di Kalkuta, akhirnya pada tahun 1950 ia mendirikan Missionary Charity, sebuah badan misi yang bertujuan meringankan penderitaan manusia. Badan misi ini terus berkembang hingga memiliki anggota ribuan orang dan telah mendirikan lebih dari 500 rumah penampungan dan klinik bagi orang-orang sakit dan miskin. Sejak ia menjejakkan kakinya di kota itu, dengan setia ia selalu hadir di tengah-tengah mereka dan hidupnya telah menjadi bagian dari mereka. Ia setia melayani mereka yang tidak terlayani, sampai pada akhir hayat hidupnya. Selama lebih dari 50-an tahun melayani di tempat yang kumuh, kotor, dan miskin, akhirnya ia meninggal pada tahun 1997. Saat pemakamannya tiba, ia dihantar dan diiringi bak umpama seorang pejabat besar India, dan seluruh mata menyaksikan akan ketulusan, keteguhan, kegigihan, dan kesetiaannya kepada mereka yang terlantar. Dialah Bunda Theresa.


Bagaimana jawab saudara? Kiranya Tuhan memberikan kekuatan kepada kita agar tetap setia dalam iman, keluarga, pekerjaan, dan pelayanan kita.

Buah Roh: Kebaikan

“Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu" (Galatia 5:22-23)


Abraham Lincoln

Abraham Lincoln adalah presiden Amerika yang baik. Itulah yang diakui dan diceritakan A.W. Tozer dalam bukunya The Attributes of God. Suatu kali ketika Lincoln mengujungi rumah sakit, di sana terbaring seorang perwira yang terluka parah dan hampir meninggal dunia. Para perawat berbisik, “Tuan Presiden, ia tidak akan bertahan”. Presiden yang tinggi besar dan sederhana itu pergi ke bangsal rumah sakit dan mendatangi perwira muda yang sedang sekarat itu, membungkuk, mencium keningnya, dan berkata, “Letnan, Anda harus sembuh demi saya”. Perwira itu berbisik, “Tuan Presiden, aku akan melakukannya”. Dan ia bertahan hidup. Rakyat Amerika mencintai Lincoln bukan saja karena ia telah membebaskan perbudakan atau menyelamatkan Amerika, tetapi karena ia memiliki jiwa yang besar. Tetap saja ia memiliki keterbatasan. Pernah terdengar cerita bahwa pada suatu kali seseorang datang ke halaman White House (Gedung Putih) dan istri Lincoln, Mary, sedang berlari dan menjerit. Presiden yang tinggi besar itu nampak berlari dibelakangnya dengan sebuah cambuk. “Apa yang sedang terjadi di sini?”, orang itu bertanya. Lincoln menjawab, “Ia tidak mau menurut”.


Apa Kata Alkitab

Menurut Nelson’s New Illustrated Bible Dictionary “kebaikan” (Yun. Agathosune; Ing. Goodness) adalah the quality of being good; praiseworthy character; moral excellence. Kebaikan, perbuatan baik, orang yang baik, adalah bentuk sikap menyenangkan. Pada umumnya semua orang senang diperlakukan baik dan mencoba ingin menunjukkan kebaikan pada orang lain, meski dengan motivasi dan alasan-alasan tersendiri.

1. Alasan Agama: kalau kita berbuat baik, memberikan amal pada fakir miskin, janda-janda, dan orang yang membutuhkan, maka perbuatan baik kita akan diperhitungkan pada akhirat kelak.

2. Alasan Moral: kalau seorang gadis menjaga kesucian hidupnya tidak melakukan hubungan seksual sampai saat pernikahan, maka ia dianggap telah menjaga moral dan nama baik keluarganya.

3. Alasan Filosofi: seorang bijak pernah mengatakan, “Kalau kita tidak mau ditipu, janganlah menipu orang lain”, adalah contoh sederhana untuk alasan ini.

4. Alasan Humanis: memberikan bantuan keuangan, pakaian layak pakai, dan makanan kepada korban bencana alam atau kerusuhan merupakan contoh untuk alasan ini.

5. Alasan Untung-Rugi: kepada orang yang berbuat baik, maka kita akan baik pada mereka. Demikian pula sebaliknya.

6. Alasan Keamanan: dengan memberikan uang 100 atau 500 rupiah pada pemulung, pengemis, atau pengamen yang mengetok mobil kita maka kita akan merasa aman karena mereka tidak menggangu kita.

Apa sebetulnya yang dimaksud Alkitab, tepatnya Rasul Paulus, dalam melukiskan “kebaikan” yang merupakan salah satu elemen dari buah roh itu? Kalau kita memegang kelima alasan tersebut di atas, apa bedanya kekristen dengan orang-orang dunia? Sebaliknya, kalau ada orang Kristen tidak melakukan apa yang orang dunia lakukan, di mana keunggulan kekristen itu? Hal-hal apa saja yang harus kita mengerti tentang kebaikan dan apa-apa saya yang harus kita lakukan dalam memahami makna “kebaikan” ini? Perhatikanlah catatan dibawah ini:

  1. Allah adalah sumber segala kebaikan. Ketika Allah selesai menciptakan manusia dan segala isinya, Ia melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik (Kej. 1:31). Terlebih saat menciptakan manusia, Ia menjadikannya menurut gambar dan rupa Allah. Artinya, segala natur kebaikan yang ada dalam diri Allah direfleksikan dalam diri manusia. Meski manusia jatuh dalam dosa dan kebaikannya menjadi tercemar, ia tetap bisa melakukan kebaikan karena Kristus ada di dalam diri mereka. Seorang yang sungguh-sungguh merasakan kehadiran Kristus dalam hidupnya dimifestasikan melalui adanya buah Roh dalam hidup mereka, salah satunya kebaikan. Dalam suratnya kepada orang-orang di Galatia, Paulus membedakan antara kehidupan di dalam daging dan Roh. “Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Gal. 5:19-21a). Dan buah Roh ialah hal-hal yang sudah kita baca di atas. Kita yang berasal dari Allah harus menyatakan pula sifat-sifat dari Roh Allah itu.
  2. Allah adalah Mahabaik. Allah memiliki berbagai atribut yang menunjukkan kekhasan diri-Nya, misalahnya: kekudusan, kebenaran, keadilan, mahatahu, mahahadir, mahakuasa, dan lain sebagainya. Salah satu sifat Allah yang dirasakan manusia baik orang percaya maupun bukan adalah kebaikan dan kemurahan-Nya. Ia memberikan matahari bagi semua orang. Ia memberikan angin, hujan, dan semua musim baik bagi orang percaya maupun bukan. “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya" (Mat. 7:11). Jelas, Allah akan memberikan apa yang menjadi segala kebutuhan kita. Lihatlah kebelakang, dalam perjalanan hidup kita sampai hari ini kita tidak pernah merasa kekurangan, selalu dicukupi, dan bahkan berkelebihan. Sehingga benar apa yang dikatakan Pemazmur; “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu!” (Maz. 34:9).
  3. Berbuat baik pada orang yang tidak berbuat baik. Pada umumnya manusia akan berbuat baik pada orang yang juga berbuat baik kepadanya. Itulah yang berlaku di dunia dan diajarkan oleh dunia. Tetapi kalau kita berbuat demikian, apakah upah kita? Tuhan Yesus mengingatkan kita, “Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian” (Luk. 33). Suatu kali saat menaiki mobil angkutan kota di wilayah Telukgong, Jakarta Utara, seorang penjahat menodongkan pisaunya pada seorang teman saya. Secara paksa ia mengancam dan meminta dompet yang dibawanya. Karena takut, ia menyerahkan dompet dan segala isinya itu. Sebelum penjahat itu turun, teman saya berkata, “Bang, saya mau pergi kerja. Apakah boleh saya minta ongkos untuk ke kantor?”, tiba-tiba saja ia memberikan Rp. 2.000,- pada orang yang ditodongnya itu. Penjahatpun masih bisa berbuat baik. Apa yang Yesus ajarkan jauh lebih mulia dan memiliki nilai sorgawi yang tinggi. Ia berkata, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka..., maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi” (Luk. 6:35). Saat tentara Jerman dikalahkan sekutu, seorang tentara Nazi berlari ketakutan dan mencari perlindungan dengan mengetuk pintu sebuah keluarga. Betapa kagetnya orang yang membukakan pintu itu karena tentara itu adalah salah satu dari orang yang telah membantai keluarganya. Ia ingin menutup pintu dan membiarkan agar orang itu dibunuh tentara sekutu. Ketika mengingat ayat di atas, hatinya menangis dan mengijinkan tentara itu berlindung dalam rumahnya. Lalu menyelamatkan tentara itu. Dialah Cory Teen Boom, seorang yang selamat dari kekejaman tentara Nazi.
  4. Berbuat baik karena telah mendapat kebaikan Tuhan. “Di Yope ada seorang murid perempuan bernama Tabita -- dalam bahasa Yunani Dorkas. Perempuan itu banyak sekali berbuat baik dan memberi sedekah” (Kis. 9:36). Kebaikan yang dilakukan oleh orang Kristen bukan karena ingin mendapatkan “sesuatu, tetapi justru karena telah mendapatkan “sesuatu”. Dorkas, salah seorang murid Tuhan, banyak berbuat baik menolong orang lain dan memberikan sedekah bukan karena “mudah-mudahan ia masuk sorga”, tetapi karena sorga sudah ada dalam hatinya dan membagi berkat sorgawi itu pada yang memerlukannya. Ini yang menjadi perbedaan mendasar antara Kekristenan dengan kepercayaan lain. Menurut cara hidup jemaat mula-mula, kebaikan yang mereka lakukan dilakukan dengan gembira dan tulus hati. Di kota Fresno, California, ada sebuah keluarga yang selalu menjemput dan memberi tumpangan pada setiap orang yang baru datang ke kota itu, meski mereka belum mengenal satu sama lain. Mereka memberi tumpangan berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu, sampai tamunya mendapat apartemen. Yang menarik adalah, keluarga ini melakukannya dengan penuh sukacita dan tulus hati. Saya adalah salah satu orang yang pernah mendapatkan kebaikan keluarga ini.
  5. Berbuat baik itu adalah perintah Tuhan. “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik” (Gal. 6:9); “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (Gal. 6:10); “Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi” (1 Tim. 6:18); “Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak. 4:17). Hal sederhana yang bisa segera orang lain merasakan kebaikan adalah memulainya dari diri sendiri. Kota Philadelphia pada jaman Presiden Benjamin Franklin termasuk masih gelap gulita. Suatu kali Mr. Presiden mengantungkan lentera yang indah pada malam hari di depan rumahnya. Ia senantiasa membersihkan kaca lentera itu agar kelihatan indah. Akhirnya orang-orang yang berjalanan merasa aman dan banyak penduduk di kota itu mulai memasang lampu-lampu di depan rumah mereka. Satu-satunya cara yang paling efektif agar orang mengikuti bagaimana harus berbuat baik adalah dengan memberikan contoh terlebih dahulu.


Dongeng Yahudi

Dalam dongeng Yahudi diceritakan tentang dua orang sahabat yang tinggal di dua desa yang berdampingan. Sahabat yang pertama adalah kepala keluarga dengan jumlah anak yang banyak, sedangkan sahabat yang lainnya hidup seorang diri. Suatu malam, sahabat yang punya banyak anak itu memikirkan akan keberadaan temannya ini, “Sahabatku hidup sendirian, tidak punya istri, anak-anak dan orang-orang yang bisa menghiburnya. Kalau begitu, aku akan membawa sekarung gandum di dekat rumahnya”. Diluar dugaan, sahabatnya yang hidup seorang diri juga memikirkan akan keadaan keluarga besar ini, “Sahabatku mempunyai keluarga besar, dan kebutuhanya pasti sangat banyak dari kebutuhanku. Kalau begitu aku akan membawakan sekarung gandum dan akan kutaruh di dekat rumahnya”. Kedua sahabat itu bertekad untuk saling berbuat baik dan menunjukkan kebaikannya masing-masing dan menuju ke rumah masing-masing. Di tengah perjalan mereka bertemu dengan masing-masing membawa sekarung gandum. Ketika tahu maksud isi hati mereka masing-masing, mereka menangis dan saling berpelukan. Menurut dongeng ini, di tempat di mana mereka berjumpa akhirnya berdiri Bait Suci di Yerusalem.

Bagaimana Mengatasi Rendah Diri

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi…” (Mazmur 139:14-15)

Perasaan Rendah Diri
Kebencian bisa timbul dalam diri kita ketika melihat orang lain bersikap angkuh dan sombong. Merasa dirinya lebih di atas rata-rata apa yang kita miliki. Ia bersikap sombong karena merasa lebih tampan dan cantik, lebih pintar dan lebih kaya, dan lebih akan hal yang lainnya. Merasa diri lebih dari orang lain memang buruk. Sebaliknya, merasa diri rendah dihadapan orang lain pun tak kalah jeleknya. Ketika kita merasa lebih hina dan tidak berharga di hadapan orang lain, itu adalah tanda bahwa kita telah dihinggapi penyakit yang cukup serius. Penyakit itu namanya minder, merasa rendah diri. Dalam kamus psikologi ini disebut inferiority complex. Beberapa tanda perasaan minder atau inferiority misalnya, kita merasa gugup dan berkeringat ketika presentasi di kelas atau berbicara dihadapan orang banyak. Berdiam diri dan termenung karena tidak bisa mengikuti orang-orang yang berbicara soal-soal akedemis dan politis. Tidak mau bergaul dengan orang-orang yang kaya karena ia membandingkan dirinya sendiri yang tidak punya apa-apa. Apabila diminta untuk melakukan sesuatu, ia segera menghindar, merasa tidak mampu dan tidak bisa melakukan apa yang dimintakannya. Tidak berani masuk ke toko-toko “berkelas” karena menganggap tidak mungkin bisa membelinya, atau takut diperlakukan tidak hormat. Bila ini terjadi, maka kita pun makin merana, merasa diri betul-betul hina dan tak berguna, makin menjauhi orang banyak, dan menyendiri dalam kesunyian hidup. Hidup pun menjadi tiada arti. Akibatnya, semua ini bisa melahirkan beban hidup yang berat. Bahkan bila melekat dalam pribadi akan menginginkan kematian. Lalu, hal-hal apa saja yang biasanya membuat kita merasa minder, apa penyebabnya, dan bagaimana seharusnya kita mengatasi hal itu?

1. Kondisi Fisik
Hal pertama yang menyebabkan banyak orang bisa merasa minder adalah masalah fisik. Sebagian orang merasa kurang nyaman ketika melihat kulitnya lebih hitam dari rekannya, hidungnya kurang memikat, senyumnya kurang menawan, tawanya kurang bersahaja, alis yang terlalu tipis, mata terlalu sipit, dan lain sebagainya. Ada lagi yang menutup diri karena ia memiliki kekurang-sempurnaan dari tubuhnya, tidak mau bergaul dengan banyak orang karena tubuhnya terlalu gemuk atau terlalu kurus. Di tambah dengan tayangan iklan televisi yang menonjolkan kecantikan dan kesempurnaan tubuh dari para bintangnya, bisa membuat banyak orang merasa minder. Princess Fiona adalah putri bangsawan dari kerajaan Far Away. Orangtuanya adalah orang yang paling dihormati warganya. Mereka merasa bangga memiliki putri yang cantik. Suatu ketika Fiona diculik dan diselamatkan oleh seorang Ogre, manusia setengah monster. Karena sebuah kutukan maka Fiona pun berubah menjadi Ogre dan menikah dengan pria monster itu. Dalam perjalan pulang kembali ke kampung halamannya serta memperkenalkan suaminya pada orangtuanya, sang ayah begitu marah dan merasa malu mempunyai menantu yang buruk rupa itu. Ia lupa, padahal putrinya pun berwujud sama dengan suaminya. Anehnya, Fiona dan Shrek, nama suaminya itu, tidak merasa malu dengan kondisi fisiknya yang menjadi bahan tertawaan itu. Malah, mereka menikmati kebahagiaan hidup bersama sebagai suami istri. Alkitab mencatat kisah nyata yang menarik. Zakeus si Pemungut Cukai memiliki kondisi fisik yang kurang menguntungkan. Ia digambarkan sebagai orang yang pendek, sehingga untuk melihat Yesus saja ia harus menaiki sebatang pohon ara. Bukan hanya fisiknya, pekerjaannya pun menjadi caci makian banyak tetangganya. Banyak dari tetangganya tidak mau mendekatinya, apalagi bersahabat dengannya. Hidupnya sunyi, sepi seorang diri. Meski banyak orang yang menolaknya, Yesus mau menerimanya. Ia dengan lemah lembut memanggilnya, "Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu” (Luk. 19:5). Merasa diri tidak sempurna itu wajar. Yang tak wajar adalah ketika kita menyesalinya dan tak dapat menikmati kehidupan karenanya. Sebab, selain dianugerahi kelebihan, Tuhan juga menitipkan juga apa yang disebut “kekurangan”. Ingatlah! Meski kita berbeda satu dengan yang lain, di mata Tuhan kita tetap sangat berharga. “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikanlah aku dalam naungan sayap-Mu” (Maz. 17:8). Malah sebaliknya, di tengah-tengah kekurangan kita kita bisa menjadikan hidup ini amal bagi orang lain. Setelah Yesus menerima Zakheus, ia berkata dan bertekad pada Tuhannya, “"Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin….” (Luk. 19:8a).

2. Faktor Keturunan
Ada orang-orang tertentu yang malu mengakui sebagai bangsa dan warga negara tertentu. Koran Kompas, pada saat terjadinya Kerusuhan Mei 1998, membuat judul yang mengejutkan: Aku malu menjadi orang Indonesia. Bisa jadi begitu, karena pada masa itu sebagian perilaku masyarakat kita bertindak anarki, brutal, dan diluar batas-batas kemanusiaan. Kita tahu semua peristiwa itu. Di tambah masalah rasial dan diskriminasi yang masih terjadi saat ini, masih banyak dari rakyat ini memiliki perasaan seperti itu. Sampai-sampai pernah terdengar ungkapan pedih: Mengapa saya harus dilahirkan di negeri ini? Di lain sisi, ada sebagian orang pun yang merasa rendah ketika harus berhadapan dengan orang-orang dari bangsa lain. Pada Agustus 2000, ketika pertama kali mendaratkan kaki di Bandara Los Angelos, saya memiliki perasaan takut dan minder karena berjumpa dengan banyak orang Amerika di sana. Terlebih ketika diwawancari petugas imigrasi, perasaan tersebut semakin menjadi-jadi. Sebelumnya, ketika mengurus visa di Kedubes AS pun, merasakan hal yang sama. Ada perasaan inferiority ketika harus berbicara dan berhadapan dengan bangsa asing. Terlebih bangsa yang menurut banyak orang dikatakan sebagai bangsa yang maju, modern, berteknologi tinggi, dan lain sebagainya. Padahal, ketika sudah berbulan-bulan tinggal di sana, saya menemukan bahwa mereka tidak lebih tinggi dan hebat dari saya. Pada beberap kali kesempatan ketika berbicara soal sejarah, geografi, dan kekristenan, banyak dari mereka sedikit yang mengetahuinya. Sampai-sampai saya menyimpulkan, mungkin kelebihan mereka adalah bahasa Inggrisnya lebh lancar dari kita. Saya menerima sebuah email berbahasa Inggris dengan judul cukup menarik: Proud to be Chinese. Dikisahkan, suatu kali seorang pria Chinese masuk ke sebuah bank di New York City dan bertanya pada bagian peminjaman. Ia mengatakan pada petugas bank itu bahwa ia ada urusan bisnis ke Taiwan selama 2 minggu dan ia membutuhkan pinjaman $5,000. Petugas bank mengatakan padanya bahwa ia membutuhkan jaminan atas pinjaman itu, maka si pria itu menyerahkan kunci mobil Ferari terbarunya yang diparkir di depan bank itu. Pihak bank setuju dan menerima mobil itu sebagai jaminannya. Pimpinan dan para karyawan bank itu senang dan tertawa pada pria Chinese itu dengan menjamin Ferari seharga $ 250,000 untuk pinjaman sebesar $ 5,000. Kemudian seorang petugas membawa mobil itu dan diparkirnya dalam garasi di ruang bawah. Dua minggu berlalu, si pria Chinese itu kembali, dan membayar $5,000 beserta bunganya, yang hanya sebesar $15.41. Petugas bank itu berkata, "Pak, kami senang berbisnis dengan Anda, dan transaksi ini berjalan manis sekali, tetapi kami sedikit heran. Ketika Anda pergi, kami menyelidiki dan mengetahui bahwa Anda seorang yang kaya raya sekali. Yang membuat kami heran adalah, mengapa Anda harus meminjam uang sebesar $ 5,000 yang sebetulnya tidak ada artinya bagi Anda?” Si pria itu menjawab: "Di tempat mana di New York City saya dapat memarkirkan mobil saya selama 2 minggu hanya membayar $15.41 dan berharap bisa menemukan mobil saya ketika saya kembali? Alkitab mencatat bahwa Abraham berasal dari keturunan penyembah berhala. Namun, ia tidak pernah menyesali akan silsilah keluarganya. Malah sebaliknya, kehadiran Abraham menjadi berkat bagi banyak orang dengan membawa para penyembah berhala menjadi penyembah-penyembah Allah yang hidup.

3. Status Sosial
Hal berikut yang bisa membuat orang merasa rendah adalah ketika ia merasa tidak punya apa-apa. Dibandingkan dengan tetangganya, rumahnya berukuran kecil sekelas RSSSS (rumah sedikit semen sempit sekali), tv-nya jauh lebih kecil, ke kantor hanya mengendarai sepeda motor tua, pakaian pun bukan yang branded, dan pendapatan yang cukup hanya untuk sebulan (itupun terkadang kurang). Acap kali, banyak orang berpikir, “Saya pasti bahagia bila saya menjadi orang kaya”, atau “Seandainya saja saya seperti orang kaya itu, pasti saya akan bahagia”. Perlu diingat, yang menyebabkan orang menjadi mulia bukan karena kekayaannya, tetapi perasaan puas diri dan mensyukuri anugerah Tuhan itu yang menjadikan orang itu mulia. Sebab, meskipun dia miskin harta, namun kaya hati. Dalam kitab Ester ada kisah yang menarik (Est. 2:7-23). Ester adalah seorang wanita Yahudi yang luar biasa cantiknya yang terasing dan hidup sebagai yatim piatu. Raja Ahasyweros memilihnya untuk menjadi ratunya tanpa mengetahui asal usulnya. Karena perilakunya yang mulia dia menjadi teladan kebajikan bagi wanita lainnya dan sangat dicintai oleh suaminya. Diapun menjadi teladan bagi kaum bangsanya. Keteladan bukan hanya ditunjukkan pada kebaikan hatinya, tetapi juga pemahamannya tentang Allah yang benar yang selalu memelihara hidupnya. Itu sebabnya, jangan lagi membanding-bandingkan akan keberadaan kita dengan orang lain, apalagi sampai merasa susah akan hal itu. Lebih baik bekerjalah dengan tekun, giatlah belajar, dan teruslah raih kebahagiaan itu. Dalam buku Kisah Sukses Pebisnis Dunia seri Biografi terbitan Majalah Intisari dikisahkan pebisnis sukses bernama Soichiro Honda. Ia tidak mewarisi harta kekayaan dari nenek moyangnya. Soichiro adalah putra pemilik bengkel sepeda yang berpendidikan rendah. Pria yang dilahirkan pada 17 November 1906 berasal dari keluarga yang miskin. Tetangganya yang kebanyakan anak-anak orang kaya sering mengoloknya dan menjauhinya. Sebagai anak sulung dari 9 bersaudara, Soichiro melamar pekerjaan sebagai seorang montir di sebuah bengkel mobil Arto Shokai. Meski diterima, pekerjaan sehari-harinya adalah menjaga anak majikannya. Pada September 1923 terjadi gempa bumi yang hebat yang menewaskan 57.000 orang. Banyak orang lari meninggalkan tempat itu. Soichiro yang tidak bisa membawa mobil berusaha menyelematkan dan mengendarai sebuah mobil dari tempatnya bekerja. Kemudian ia mengotak-atik dan membetulkan mobil tersebut. Dari sinilah awal kesusksesannya. Kerja keras dan keuletannya menjadikan dia sebagai orang yang diperhitungkan dalam dunia bisnis otomotif. Usaha kerasnya membuahkan kesuksesan luar biasa dan menjamur di banyak negera. Kalau Anda memiliki mobil bermerk Honda, inilah kisah sang penemu dan pencetus ide itu.

4. Jenis Pekerjaan
Melihat jenis pekerjaan orang lain dan membandingkan dengan apa yang kita miliki jauh lebih sedikit hasil yang didapat bisa membuat orang merasa rendah dan malu. “Teman saya restorannya besar, saya hanya warung sederhana”. “Toko dia ada di mana-mana: mulai dari Tunjungan sampai Pakuwon, sementara saya hanya toko kecil di ujung gang jalan”. “Dia kantornya di perusahaan besar, saya buruh upahan”. Pasti kita pernah mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini. Berapa banyak orang larut yang terus membandingkan pekerjaannya dengan pekerjaan orang lain. Lalu, melihat pekerjaan orang lain lebih besar, hebat dan wah, kita merasa rendah dengan mereka. Selama yang kita kerjakan adalah bersih, jujur, dan benar, kita jauh lebih berbahagia dengan orang yang memiliki perusahaan besar tapi dengan jalan yang tidak benar. Lagipula, kalau kita sukses dan kaya semata-mata hanyalag berkat-Nya. “Berkat TUHANlah yang menjadikan kaya, susah payah tidak akan menambahinya” (Ams. 10:22). Tugas kita adalah bekerja, bekerja, dan bekerja! Pernahkan Anda mendengar Harland Sanders? Pria ini bekerja sebagai kondektur jalanan, dan petugas rel kereta api, yang di Indonesia masuk kategori jenis pekerjaan berpenghasilan murah. Pada tahun 1930, di usia 40 tahun, ia mencoba berjualan dengan menawarkan makanan pada para pelanggannya di Corbin, Kentucky, Amerika Serikat. Pada mulanya, ia menyajikan makanan itu di meja makan di tempat tinggalnya (kayak Warteg). Makanannya terkenal, dan pada akhirnya ia membuka rumah makan di kota itu. Selama beberapa tahun ia mengembangkan kombinasi rahasia dari 11 ramuan dan bumbu-bumbu ke dalam resep makanannya. Pada usia 66 tahun, Sanders mengendarai mobil stasiun wagon menyusuri jalan raya. Setiap kali ia melihat rumah makan, ia berhenti, mengetuk pintu, dan menawarkan resep makanannya. Para pelangganya setuju menggunakan resep itu dan membayar 5 sen dolar kepada Sanders untuk setiap potong ayam goreng yang terjual. Setelah resep Sanders diperkanalkan, sebagian besar pemilik rumah makan menemukan bahwa para pelanggannya sangat menyukainya. Kesuksesan diraih dan restoran-restoran Sanders diwaralabakan di seluruh Amerika Serikat dan diseluruh dunia. Dalam suatu jajak pendapat yang diadakan pada tahun 1970-an,Harland Sanders terdaftar sebagai salah satu dari lima orang yang paling terkenal di seluruh dunia. Kalau Anda pernah menikmati Kentucky Fried Chicken dimanapun di dunia ini, dialah pemilik restoran-restoran itu. Alkitab menasihati: “Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya” (Ams. 10:4).

5. Pendidikan dan Kemampuan
Sudah kewajiban dan kerinduan banyak orangtua bisa menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Dengan begitu si anak bisa memiliki kemampuan dan diterima di masyarkat. Itu sebabnya, sebisa mungkin mereka akan berjuang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah favorite atau kalau perlu di luar negeri. Bagi mereka yang kurang beruntung dan ada kesempatan, terkadang meresa minder bila membandingkan dengan anak-anak orang lain karena hanya sekolah di sekolah biasa. Yang merasa minder bukan hanya si orangtua, tetapi juga anak-anaknya. Apalagi, bila anak tersebut tidak memiliki kemampuan apa-apa, akan menambah perasaan malu dan rendah dirinya. Ingat kisah Musa? Tokoh ini pernah mengalaminya. Di padang Midian, ketika sedang menggembalakan kambing dombanya, Musa berjumpa dengan Allah dan ia mendapat pesan yang sangat jelas: "Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir … Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir” (Kel. 3:7, 10). Bagaimana jawab Musa? Dengan jelas pula ia menjawab: "Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?" (Kel. 3:11). Ditambahkan, "Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulu pun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mu pun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah” (Kel. 4:10). Jawaban Musa jelas menunjukkan keraguan, ketakutan, perasaan diri kecil dan tidak berdaya dibandingkan harus menghadapi orang yang lebih memiliki segala-galanya di negeri Mesir itu. Ia telah 40 tahun tinggal di negeri Midian. Hidup di tengah-tengah rakyat pedesaan, sahabatnya hanyalah kambing domba, pendidikannya didapatnya dari padang rumput dan alam sekitarnya, jarang berjumpa dengan orang banyak, dsb. Sekarang harus menghadap Firaun? Harus pergi ke kota besar? Harus bertemu dengan orang-orang pintar di sana? Apa yang harus dikatakannya pada mereka? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuat Musa merasa ragu, rendah diri, dan takut. Tuhan menguatkan dan menghiburnya, "Siapakah yang membuat lidah manusia, siapakah yang membuat orang bisu atau tuli, membuat orang melihat atau buta; bukankah Aku, yakni TUHAN? Oleh sebab itu, pergilah, Aku akan menyertai lidahmu dan mengajar engkau, apa yang harus kaukatakan” (Kel. 4:11-12).

Cara Pikir
Cara kita berpikir memiliki hubungan erat dengan seberapa banyak yang dapat kita selesaikan. Jika kita percaya bahwa kita akan berhasil, kemungkinan kita untuk berhasil besar. Jika kita tidak dapat melihat diri kita sendiri sebagai orang yang berhasil, kita kemungkinan besar tidak akan pernah mencapai impian-impian kita. Ketika berusia 13 tahun, seorang anak bernama Steven tahu bahwa ia ingin menjadi seorang sutradara film. Ketika berusia 17 tahun, ia mengunjungi Universal Studio sebagai seorang turis. Hal itu sangat menyenangkan baginya. Diam-diam ia keluar dari rombongan tur dan masuk ke dalam sebuah ruangan tempat pembuatan film. Ketika menemukan kepala departemen editorial, ia berbicara kepadanya mengenai pembuatan film. Esoknya, ia mengenakan setelan baju, meminjam tas ayahnya, dan memasuki lapangan parkir studio seolah-olah ia adalah pemiliknya. Ia menemukan sebuah truk trailer yang menganggur dan menuliskan namanya pada truk tersebut. Ia terus bekerja keras di lapangan parkir itu dengan khayalan sebagai seorang sutradara dan mempelajari bisnis pembuatan film. Pada waktunya, ia menjadi pengunjung tetap Universal Studio, memproduksi sebuah film pendek, dan pada akhirnya ditawari kontrak tujuh tahunan. Saat ini ia adalah salah satu sutradara terkenal dan termahal di Holywood dan paling terkenal di seluruh dunia. Dialah Steven Spielberg. Alkitab berkata: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil. 4:13).

Mengatasi Masalah Tanpa Masalah

Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp. 4:13)


Sebuah Masalah

Beberapa tahun yang lalu, ketika menemani adik saya yang masuk RS dan menjalani sebuah operasi, saya bertemu dengan seorang pasien yang berbaring di sebelah tempat tidur adik saya. Ia terbaring dengan lemas dan tak berdaya. Nampak dari wajahnya ia begitu tertekan dan seolah-olah sedang menghadapi masalah yang sangat berat. Benar dugaan saya. Ternyata ia baru saja ditinggalkan oleh tunangannya dan tunangannya itu menikah dengan orang lain. Tidak tahan menangung masalah yang berat itu, ia lantas meminum Baygon, racun obat serangga itu. Untung saja nyawanya masih bisa diselamatkan. Bulan Agustus 2003 yang lalu sebagian dari kita dikejutkan dengan berita kematian salah seorang pengusaha yang menjatuhkan diri dari hotel berbintang di Jakarta. Menurut para wartawan kematiannya yang mengenaskan itu disebabkan karena masalah-masalah besar yang menakannya. Berikutnya, Sabtu, 13 September 2003, di Bandung terjadi berita yang memilukan. Pada hari itu Haryanto, bocah kelas VI SD, berusaha melakukan bunuh diri karena merasa malu dan tertekan gara-gara orangtuanya tidak bisa memberinya uang ekstra kurikuler sebesar Rp. 2.500! Ada apa dengan semua contoh di atas? Jelas bahwa mereka menghadapi beragam masalah dan tidak bisa mengatasinya.


Orang-orang yang Menghadapi Masalah dalam Alkitab

Alkitab banyak mencatat beberapa tokoh Alkitab pun tidak luput dari masalah. Mereka pun diijinkan mengalamai itu semua dan banyak belajar darinya. Ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang percaya kepada Allah tidak kebal terhadap masalah. Misalnya, Paulus menghadapi masalah karena pertobatannya kepada Kristus menjadi ancaman yang serius bagi kaum Yahudi. Lot dan keluargany tinggal di tengah-tengah kelompok bermasalah yang suka mengganggu orang lain dan berhubungan pria dengan pria. Saat-saat menjelang akhir hidup-Nya, Yesus pun menghadapi berbagai macam masalah. Ia bukan hanya menghadapi masalah fisik, di mana menerima aniaya demi aniaya; tetapi juga secara psikis, diperlakukan tidak adil dan tidak ada yang membelanya dan ditinggalkan oleh murid-murid-Nya.


Penyebab Masalah

Masalah-masalah yang datang menimpa seseorang disebabkan oleh beberapa hal:

  1. Karena dosa: ini menjadi masalah yang sangat serius karena berhubungan langsung dengan Allah. Ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang itu mereka takut, berlari, dan bersembunyi. Masalah yang disebabkan karena dosa harus diberesi hanya di dalam Yesus Kristus.
  2. Karena iblis: masalah berat yang menimpa Ayub di mana ia kehilangan anak-anak dan harta bendanya disebabkan karena iblis yang menyerangnya. Namun demikian atas anugerah dan kekuatan Tuhan akhirnya ia dan keluarganya dipulihkan kembali.
  3. Karena orang lain: Yusuf mengalami masalah demi masalah di mana ia dijual sebagi budak, dijauhkan dari orangtuanya, difitnah, dan dipenjarakan disebabkan karena orang-orang lain yang tidak suka kepadanya. Demikian juga Elia yang mengalamai depresi berat karena diancam akan dibunuh oleh Isebel.
  4. Karena penyakit: Ada banyak orang-orang yang menderita penyakit tertentu dan untuk masa waktu tertentu membuat mereka menjadi stres, tertekan, dan menjadi masalah.
  5. Karena alam: Amerika Serikat pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian: barat, tengah, dan timur. Masing-masing wilayah itu memiliki masalah alam yang unik dan berbeda satu dengan yang lain. Wilayah barat biasanya sering mengalami gempa dan kebakaran hutan; tengah mengalami badai tornado; dan wilayah timur sering dilanda hurricane (topan dan badai). Wilayah timur yang beberapa waktu lalu ditimpa badai Isabel telah merusak dan menghancurkan banyak rumah, perkantoran, dan jalan raya. Karena inilah banyak diantara mereka yang mengalami pergumulan dan masalah yang berat.
  6. Karena diri sendiri: Orang yang membangun rumah di atas pasir (dalam perempumaan Yesus) adalah contoh riil masalah yang dibuat oleh orang itu sendiri. Karena kecerobohan dan kebodohannya itu maka apa yang ia bangun hancur porak poranda.

Sikap Menghadapi Masalah

Ketika menghadapi masalah, biasanya akan muncul 4 macam sikap:

  1. Mengacuhkan (menganggap seolah-olah tidak ada masalah dan tidak mau tahu dan perduli dengan semua yang menimpanya)
  2. Melarikan diri (tidak berani menghadapi masalah dan mencoba menutupinya dengan cara kompensasi: pergi ke night club, seks bebas, minum-minuman beralkohol, dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang)
  3. Menyerah (setelah semua yang coba dilakukan dan dipikirnya tidak ada lagi jalan keluar, ia mulai merasa gelisah, gagal, tertekan/stres, frustrasi, dan mengalami depresi berat)
  4. Menghadapi (meski dirasa berat dan sulit, ia masih tetap berdiri tegar dan terus mencari solusi untuk bisa keluar dari kesulitan yang dihadapinya. Baginya tidak ada kata “mundur” atau “menyerah”. Mottonya: “Aku pasti bisa!”)


Mengatasi Masalah tanpa Masalah

Penting bagi kita untuk berani menghadapi masalah dan bukan menghindari masalah. Kalau kita tidak menghadapinya, maka masalah itu yang akan menyerang kita. Dan masalah akan menjadi besar bila kita selalu melihat diri kita kecil dan tak berdaya. Berikut adalah langkah-langkah yang perlu kita pelajari bagaimana mengatasi masalah tanpa masalah:

1. Berpikir Positif dan Berpikir apa yang Allah Pikir

Sikap pertama yang paling penting ketika masalah datang adalah mengambil sikap mental yang positif. Di sebuah kantor ada sebuah plakat yang cukup menarik: SIKAP ADALAH LEBIH PENTING DARI KENYATAAN. Seorang berpikir negatif biasanya berkata: “Ini sulit. Ini fakta yang sangat menyulitkan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa”. Tetapi orang biasa berpikir positif berkata lain, “Ya, ini memang sulit dan faktanya demikian. Tetapi saya yakin pasti ada jalan untuk memecahkannya. Saya akan mencari jalan itu”. Cobalah lihat contoh dua orang businessman berikut. Yang seorang diberikan tempat yang prospeknya kering dan lahan yang sulit. Ditambah dengan suara-suara yang mengatakan bahwa tempat itu sulit berkembang, maka ia akan berpikir, “Buat apa saya susah-susah membuang waktu di sini. Lebih baik saya angkat kaki dari sini.” Padahal, orang itu belum memulai apa-apa di tempat itu. Lain halnya orang yang kedua. Ketika dia melihat daerah itu, ia mulai memikirkan banyak hal akan membangun ini dan itu. Cara berpikirnya pun lain, “Ditempat ini belum ada seorang pun yang mengerjakan, maka saya akan menjadi pionir untuk memulai bisnis saya ini. Saya yakin beberapa waktu kemudian akan menjadi tambang emas.” Sikap kita akan menentukan apakah kita akan menjadi korban atau pemenang atas masalah yang kita hadapi. Ketika 12 Pengintai kembali kepada Musa dan melaporkan hasil pantauan mereka atas negeri Kanaan, 10 orang melihat dengan kacamata negatif: menganggap negeri itu sukar ditaklukkan. Bahkan melebih-lebihkan bahwa negeri itu berpenduduk raksasa dan suka makan orang. Sebaliknya, Yosua dan Kaleb berpikir lain. Mereka menyerukan, “Kita pasti bisa memasuki dan menduduki negeri itu, sebab Allah yang akan berperang di pihak kita”. Demikian juga terjadi dalam diri Abraham. Ketika ia harus berpisah dengan Lot di mana Lot telah memilih tempat yang subur, rumputnya banyak, mata airnya jernih, dan berlimpah dengan kekayaan alamnya. Abraham malah mendapatkan tempat yang sebaliknya. Abraham teta berpikir positif dan mencoba berpikir apa yang Allah pikir. Ia percaya meski tempat yang menurut ukuran matematika manusia selalu minus, minus, dan minus, tetapi di mata Allah akan menjadi tempat yang surplus berlipat kali ganda. Sikap penyerahannya kepada Allah memenangkan sebuah fakta yang sulit.

2. Percaya Pasti Melewati Masalah

Suatu kali Norman Vincent Peale berbicara dengan J.C. Penney, seorang pedagang dan pemilik supermarket tersohor yang sudah berusia di atas 95 tahun. Norman berkata kepadanya, “Anda pasti pernah menemui banyak masalah dalam hidup ini. Apakah falsafah Anda terhadap masalah-masalah itu?”. Katanya, “Begini, Norman. Sebenarnya saya berterima kasih atas seluruh masalah-masalah saya. Karena setiak kali sebuah masalah teratasi, saya menjadi lebih kuat dan lebih mampu menghadapi masalah-masalah di masa datang. Saya tambah bertumbuh dewasa oleh masalah saya.” Kalau orang-orang dunia bisa berani menghadapi masalah bahkan sukses mengatasinya, orang percaya seharusnya lebih dari itu. Terkadang agak ironis menyaksikan apa yang dilakukan anak-anak Tuhan ketika menghadapi sebuah masalah. Menurut sebuah sumber televisi, dicatat bahwa ada cukup banyak anak-anak Tuhan bertanya pada ahli Hong Sui ketika mereka membutuhkan jawaban untuk keluar dari krisis usaha dan rumah tangga mereka. Bahkan salah satu presenter acara tersebut di sebuah stasiun TV swasta adalah orang Kristen. Allah kita lebih dari pada ahli Hong Sui dan peramal-peramal hebat manapun. Musa adalah orang yang paling melihat dengan jelas bagaimana setiap masalah yang dihadapinya dilewatinya dengan penuh kemenangan. Menghadapi pemipin Mesir yang keras kepala seperti Firaun telah ia lewati dengan dikiriminya 10 Tulah yang mencengangkan. Ketika berdiri di depan Laut Teberau yang menghadangnya, di mana dibelakangnya beriring-iringan pasukan Mesir yang akan menghabisinya, secara ajaib laut itu dibelah-Nya menjadi dua sehingga ia dan bangsa Israel melintasi laut itu. Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa ajaib yang ia boleh alami. Satu hal yang diyakini Musa: KESULITAN SEBESAR DAN SEBERAT APAPUN TUHAN MELEWATINYA.

3. Allah Kita Lebih Besar Dari Masalah Kita

Dalam dunia tinju kelas berat dikenal petinju berjuluk Si Leher Beton, Mike Tyson. Pada jamannya sulit sekali orang mengalahkannya. Di usianya yang relatif muda ia telah mengantongi gelar juara dunia kelas berat sejati. Pertandingan yang menarik yang pernah saya saksikan adalah ketika ia harus berhadapan dengan Evander Holyfield. Holyfield, yang mengaku sebagai petinju Kristen, malam itu naik ke ring dengan selendang bertuliskan “FILIPI 4:13”. Ia memenangkan pertandingan itu dan menjadi juara. Meski saya tidak terlalu setuju dengan idenya, tetapi saya bisa menyetujui keyakinanannya bahwa Tuhan yang dia percaya akan memberinya kemenangan. Apapun masalah yang datang menimpa kita, dan seberapa besar pun masalah itu, ingatlah satu hal: TUHAN KITA LEBIH BESAR DARI MASALAH KITA. Tidak ada satu hal pun yang terlalu sulit dan sukar bagi-Nya. Setiap kali menyanyikan lagu “Dia Terlebih Besar” dalam Persekutuan Doa, saya mengamini bahwa Ia lebih besar atas hidup dan masalah-masalah yang saya hadapi. Diskriminasi rasial tahun 1950-an melanda Amerika Serikat. Banyak orang-orang kulit hitam diperlakukan semena-mena dan tidak memperoleh hak yang layak. Di mana-mana terpampang tulisan “For White Only!”, “Habiskan saja orang kulit hitam itu”. Bahkan di gereja terpampang tulisan, “Colored exit by rear door”. Dalam kondisi seperti ini lahirlah Martin Luther King, Jr. Ia dilahirkan di Atlanta, Georgia, AS, 15 Januari 1929 dari keluarga berkulit hitam. Ia tumbuh dewasa dan menjadi seorang pendeta. Melihat keadaan ini hatinya berteriak dan mulai menyuarakan persamaan hak. Ia sadar bahwa problem yang ia hadapi adalah serius karena harus berhadapan dengan orang-orang kulit putih yang menjadi mayoritas dan tuan tanah bagi mereka. Salah satu khotbahnya yang terkenal adalah, “Saya memiliki impian bahwa suatu hari kelak... orang-orang akan dinilai lebih karena karakter dan bukan karena warna kulit mereka.” Dengan doa dan semangat yang menyala-nyala perjuangan berhasil, meski ia sendiri harus mati ditembak. Namanya diabadikan sebagai hari libur nasional Amerika dan khotbah selalu dikutip di mana-mana. Yang jelas ia mengajarkan satu hal: ketika kita berjuang bersama Allah, masalah sebesar apapun mungkin bagi-Nya. Masalah-masalah apa lagi yang Anda pikir Ia tidak mampu menjawabnya? Ia sanggup dan Ia hadir bersamamu!

Friday, January 30, 2009

Bagaimana Mengatasi Kritik

“Lebih baik teguran yang nyata-nyata daripada kasih yang tersembunyi” (Amsal 27:5)


Si Tukang Kritik yang Dikiritk
Suatu kali John Maxwell, penulis buku-buku terlaris, menceritakan sebuah kisah tentang seorang pemangkas rambut yang suka mengkritik dan berpikiran negatif. Seorang sales datang untuk menggunting rambut dan mengatakan rencana perjalanannya mengunjungi Roma, untuk bertemu dengan Sri Paus. “Naik apa Anda ke Italia?” tanya tukang pangkas itu. “Naik Alitalia Air”, sahutnya. “Akh! Service-nya jelek. Anda pasti akan kecewa. Dan di mana Anda menginap?” “Di Hilton Roma”. “Akh! Hotel butut. Jangan tinggal di sana. Lalu apa yang akan Anda lakukan?” “Menemui Sri Paus”, kata sales itu. “Percuma! Anda tak mungkin akan berhasil. Memangnya Anda ini siapa?”. Enam minggu kemudian pria itu kembali dari Roma dan langsung menjumpai tukang cukurnya. “Perjalanan saya luar biasa”, katanya “Saya terbang dengan Alitalia dan pelayanannya sangat memuaskan. Saya tinggal di Hilton dan mendapatkan kamar yang paling baik. Saya pergi menemui Sri Paus dan diterima dalam ruangan pribadi. Bahkan saya berhasil mencium tangannya”. “Anda? Anda mencium tangan Sri Paus? Lalu apa kata Paus ketika itu?” tanya si tukang cukur penasaran. “Paus memandang kepala saya, lalu berkata: Akh! Siapa yang mencukurmu? Potongannya mengerikan sekali...”

Kritik itu Menyakiti
Tidak disangkali bahwa setiap kita pernah mengkritik dan dikritik. Dan jelas, hal yang paling tidak enak dan menyakitkan adalah ketika harus menerima kritik. Tidak peduli apa yang kita lakukan (dalam pekerjaan atau profesi kita), orang-orang akan mengkritik. Satu hal yang perlu diingat, kemampuan untuk mengatasi kritik dapat membuat kita berhasil atau malah hancur. Semakin besar atau semakin banyak pekerjaan atau pelayanan kita, semakin banyak kritik yang akan kita terima dari orang-orang yang bahkan kita tidak kenal. Kritik seringkali menyakitkan, tidak menentramkan hati. Ketika kita mencoba melakukan sesuatu yang baik, terkadang orang lain mengkritik dan berpikiran negatif pada kita. Kerap kalai faktor like and dislike bisa mewarnai sebuah kritik. Pada tahun 1993 saya berkesempatakan pelayanan praktek dua bulan di sebuah gereja kecil di kota Bogor. Dipercaya menangani komisi muda adalah hal yang sangat menarik. Meski dua bulan di sana saya berusaha menjadikan mereka sebagai sahabat, teman dan rekan yang saling bekerja sama dalam pelayanan Hari-hari terakhir pelayanan saya dipanggil gembala sidang setempat dan diberikan penilaian dan kritik yang negatif kepada saya. Malam itu saya ingat: ada 10 poin hal negatif yang disampaikannya, karena ketidaksukaannya kepada saya. Ketika saya membuat angket dan saya bagikan kepada jemaat agar menilai pelayanan saya, hampir 100% memberikan nilai yang sebaliknya. Sebaliknya, ada pula kritik negatif datang dari orang yang kita pikir sangat dekat dengan kita. Dr. Dale Galloway, gembala sidang di New Hope Community Church di Portland, Oregon, membuat angket penilaian apakah ia harus bertahan di gereja tersebut atau tidak. Saat itu jemaatnya relatif masih kecil (saat ini gereja tersebut memiliki 6.400 orang dan 500 pendeta yang melayani lebih dari 5.000 anggota kelompok kecil). Ketika hasilnya diumumkan, ia cukup kecewa. Jemaat menberi 31 suara ya dan 2 suara tidak. Suara yang negatif itu membuatnya depresi. Dia berpikir bahwa dia telah gagal. Yang menambah rasa sakit itu adalah, dua orang yang mengajukan suara “tidak” itu adalah pasangan paruh baya yang sering ditolongnya.

Orang Terbaik pun Dikritik
Seorang pengawas kota pernah memberikan nasihat yang bijak: “Bila Anda adalah seorang pemimpin, Anda tidak dapat menghindari kritik. Kritik itu pasti akan muncul. Semakin berhasil seorang pemimpin, semakin sering mereka akan menjadi terget kritikan yang tidak adil. Bila Anda adalah orang-orang yang mewujudkan hal-hal baru, Anda akan menerima kritik”. Bahkan orang-orang terbaik pun mendapat kritikan. Musa, pemimpin besar yang dikenal sebagai orang yang paling lembut hatinya, dikritik oleh Harun dan Miryam hanya karena memperisitri perempuan Kusy (Bil. 12:1-5). Bangsa Israel pun mengkritiknya karena Musa dianggap menyengsarakan dan menelantarkan hidup mereka di padang gurun. Bahkan mereka berkolaborasi ingin menggantikan posisi Musa (Bil. 14:4). Ketika Paulus baru pertama kali bertobat, ia dianggap dan dikritik sebagai orang yang mematai-matai mereka dan pertobatannya hanyalah pura-pura. Yesus, yang motivasi dan karakternya murni dan tak tercela, dikririk orang sebagai pelahap dan peminum (Mat. 11:19 dan Luk. 7:34), seorang Samaria (Yoh. 8:48), Beelzebul (Mat. 12:24), dan teman para pendosa (Mrk. 2:16). Dia yang sempurna itu pun dikritik secara tidak adil dan kasar oleh teman-temannya dan juga musuhnya. Bahkan, kalau pun Yesus berjalan di muka bumi pada hari ini, beberapa orang akan mengkritik hal yang sama. Semua orang Kristen dan para pemimpin gereja akan menerima kritik. Pertanyaannya adalah, bagaima kita menanggapinya? Tidak peduli betapa negatifnya orang lain, penting bagi kita untuk mengatasi kritik dengan cara yang positif. Bila kita tidak mengatasi kritik dengan benar, kita akan menjadi korban, dan bukan pemenang. Kita melayani satu Tuhan yang sanggup menolong kita mengubah hal yang buruk menjadi baik, sama seperti yang Dia lakukan dengan Yusuf (lih. Kej. 50:20).

Pandai Mengatasi Kritik
Hanya ada dua cara untuk mengatasi kritik: secar positif dan negatif. Pilihan ada di tangan kita. Jangan pernah menyerahkan kehidupan emosional kita kepada orang-orang yang berpikiran negatif atau kepada serangan-serangan negatif. Hiduplah sesuai dengan panggilan yang lebih tinggi, yang dideskripsikan Alkitab sebagai kehidupan penuh dengan cinta kasih. Dr. Dale Galloway dan Warren Bird dalam bukunya On-Purpose Leadership (Kepemimpinan yang Efektif) memberikan 7 (tujuh) langkah yang positif mengatasi kritik.
1. Pahami perbedaan antara kritik yang membangun dan yang menghancurkan. Ketika dikritik, lihatlah di balik kata-kata dan jiwa orang tersebut. Apakah dia sedang mencoba menolong, membangun dan meningkatkan atau malah menghancurkan. Di Willow Creek Community Church, Chicago, Bill Hybels membagi pengalamannya. Setiap kali dia selesai menyampaikan khotbah ada 4 orang yang mengevaluasinya, dan keempat orang ini mempunyai jiwa yang ingin membangun terus lebih maju hamba Tuhannya. Umumnya, di tengah-tengah masyarakat kita yang namanya sinisme itu menjadi penyakit yang berkembang pesat. Kesinisan dalam diri seseorang terus mencari yang terburuk dalam diri orang lain. Di sinilah kita perlu merubah ruang lingkup kita: “Berubahlah oleh pembaruan budimu”, demikian tulis Paulus kepada jemaat di Roma (12:2).
2. Putuskan untuk tidak membuang-buang energi dengan memerangi kritik yang menghancurkan. Hari ini media masa ramai membicarakan pencalonan gubernur California, sebuah state terkaya di Amerika, yang pendapatan perkapitanya sebagai urutan kelima terbesar di dunia setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris. Seorang calon yang menarik perhatian masyarakat di sana adalah tampilnya sang bintang Terminotor Arnold Schwarzenegger. Arnold, yang akrab dipanggil Arnie, pun mendapatkan kritik dari sebuah media yang mempermasalahkan latar belakang hidupnya: imigran Austria dan berayahkan anggota partai Nazi dulu. Meski dijelek-jelekkan oleh wartaman tersebut, Jawa Pos edisi Selasa 12 Agustus 2003, menulis demikian: “Tugas dan kewajiban saya pada California jauh lebih besar ketimbang mencemaskan soal-soal negatif atau apapun yang mereka lemparkan itu. Saya tidak berkonsentrasi ke situ. Saya pilih tetap fokus saja (ke pemilihan gubernur).” Suatu kali Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi ke sebuah desa untuk mencari makanan dan tempat penginapan. Ketika orang-orang desa menolak kehadiran mereka, para murid ingin menyerang balik dengan memanggil api dari langit (lih. Luk. 9:54). Yesus menanggapi itu semua dengan tenang dan membimbing para murid-Nya pergi ke desa berikutnya. Ada kalanya, bila kritikan yang ditujukan kepada kita tidak berdasar, tidak masuk akal, hanya melayani diri sendiri, sebaiknya tidak terlalu mendengarkan apa yang mereka katakan.
3. Cobalah untuk memahami sumber kritik. Seorang bijak pernah berkata demikian, “Kritik yang menyakitkan dari seorang yang bijak lebih baik daripada persetujuan yang antusias dari seorang bodoh”. Ketika Yesus diolok-olok di atas kayu salib, Dia berdoa: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Yang dimaksud Yesus adalah bahwa mereka tidak memahami masalahnya.
4. Lihat apakah ada banyak orang yang mengkritik. Di New Hope Community Church, Dr. Dale Galloway selalu menggunakan “kartu komunikasi” sebagai alat kritik. Dia selalu membaca setiap kartu itu pada hari Minggu, memperhatikan komentar-komentar yang positif dan juga kritikan. Bila seringkali banyak kartu menyuarakan masalah yang sama, maka dia tahu bahwa dia harus lebih banyak mendengarkan. Bila hanya ada satu orang yang memunculkan satu masalah, dia akan mendengarkan tetapi juga akan berpikir bahwa mungkin saja orang ini memiliki satu hari yang buruk.
5. Buka diri apakah kita dapat memetik manfaat dari kritikan. Ketika kritik datang, belajarlah menanyakan hal-hal berikut: “Apakah ada kebenaran di dalamnya?”, “Apa maksud Tuhan di balik semua ini?”, dan “Apakah ada pelajaran yang bisa saya ambil?”. Setiap kritik yang ditujukan kepada kita dapat menjadi sahabat yang membantu kita melihat titik-titik kelemahan kita untuk bisa bertumbuh. Setelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini, mintalah pertolongan Tuhan untuk memperbaharui membangkitkan rasa percaya diri kita.
6. Terlebih dululah mencoba untuk lebih menyenangkan Tuhan daripada manusia. Rasul Paulus adalah orang yang banyak mengalami tekanan, kritikan dan penganiayaan yang berat dalam panggilannya. Namun dia tetap teguh berdiri di dalam pelayanannya. Dia terutama berpikir untuk menyenangkan hati Tuhan. “Yang menghakimi aku ialah Tuhan,” katanya (1 Kor. 4:4). Meski kritikan datang dalam perjalan iman kehidupan kita, tujuan kita adalah selalu menyenangkan Tuhan dan tidak pernah meninggalkannya.
7. Ketika dikritik, ambilah tindakan yang positif, bukan yang negatid atau membela diri. Stanley Jones, seorang penulis ternama mengingatkan kita, “Saya bukan hanya akan berdoa untuk orang-orang yang mengkritik saya, tapi, kapan pun mungkin, berdoa bersama mereka.” Dalam pelayanan saya pun demikian. Ketika saya dikritik oleh orang-orang yang saya ketahui, saya lebih banyak mendoakan mereka, menyebut nama mereka dalam doa. Hasilnya, Tuhan menjawab luar biasa. Paulus menulis, “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Rm. 12:14). “Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu,” demikian perintah Yesus.